
Di sebuah aula Pesantren Al Ihsan, Baleendah-Bandung, sekitar 75 santriwan/santriwati duduk di depan komputer, Ahad (24/2).
Satu komputer digunakan oleh tiga atau empat orang secara bergiliran. Jari salah seorang dari mereka sibuk memainkan mouse yang terletak di sebelah kirinya. Sedangkan dua orang yang lain mengamati situs apa yang diklik oleh temannya sambil menunggu giliran. Senyum mereka terlihat mengembang kalau situs yang dikliknya mulai terbuka.
Pemandangan pelatihan hari kedua internet untuk santri yang digelar oleh Republika dan Telkom dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) di Bandung dan sekitarnya itu, sangat berbeda dengan pelatihan hari pertama. Banyak peserta yang hanya mengamati komputer di depannya tanpa menyentuh mouse untuk browsing atau apa pun. Karena, hanya beberapa saja yang sudah mengenal apa itu internet. Kebanyakan, mereka mengaku menguasai komputer hanya untuk mengetik MS Words atau MS Excel saja.
Menurut Asisten Pembimbing Komputer dari Pesantren Al Mukhlis, Tantan Mustandi Ruddin, dirinya belum mengenal tentang komputer. Selama ini, dirinya memang memiliki keinginan yang kuat untuk mempelajari internet agar bisa diajarkan ke siswanya. Namun, karena keterbatasan dana, kata dia, maka harus mengumpulkan uang dulu untuk mengikuti pelatihan itu. ''Untung ada pelatihan yang digelar oleh Republika dan PT Telkom dengan gratis, jadi saya bisa tahu tentang internet,'' kata Tantan.
Selama ini, sambung Tantan, dirinya hanya mengajarkan MS Word dan MS Excel saja ke siswanya. Awalnya, kata dia, belum tergambar sama sekali apa itu internet dan bisa apa saja dengan internet. Setelah mengikuti pelatihan hari kedua, dirinya jadi tahu di internet bisa mengetahui apa pun termasuk membuat blog yang bisa digunakan untuk syiar agama islam. Sebelum mengikuti pelatihan ini, kata dia, dirinya tidak memiliki gambaran sedikit pun kalau internet ternyata bisa digunakan sebagai media untuk berdakwah.
''Banyak murid saya yang senang menulis pemikiran dia tentang Islam. Setelah saya belajar tentang blog, saya bisa mengajarkan pada mereka. Jadi, tulisan mereka bisa dibaca oleh orang lain,'' ujar Tantan.
Menurut Diana Nurfatimah dan Nenden, di madrasah aliyah mereka sudah dikenalkan internet. Namun, kata Diana, yang diajarkan oleh guru komputer mereka baru sebatas browsing belum sampai ke membuat email pribadi atau blog. ''Saya sangat senang ikut pelatihan selama dua hari ini karena bisa menulis artikel di blog sekaligus berdakwah di blog,'' ujar Diana.
Menurut Dirjen Pendidikan Islam Depag RI, H Muhammad Ali MA, pesantren di Indonesia yang melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK) jumlahnya sedikit sekali. ''Dari 15 ribu pesantren yang ada di Indonesia yang menguasai TIK jumlahnya kurang dari 10 persen,'' ujarnya.
Muhammad mengatakan, pesantren di Indonesia yang sudah melek internet pada umumnya berbentuk pesantren modern yang lokasinya berada di wilayah perkotaan. Pesantren tradisional yang sudah melek TIK, ada beberapa saja. Depag, kata dia, sudah memiliki program untuk memberikan bantuan komputer ke pesantren agar tidak gagap teknologi. Namun, untuk melek internet harus ditunjang oleh infrastruktur. Kalau tidak ada infrastruktur, tentu pesantren tidak bisa akses ke internet.
''Kami sangat menyambut baik upaya yang dilakukan oleh Republika dan Telkom dalam membantu pemerintah memberantas gaptek di pesantren. Harapannya, tidak hanya sekadar memberikan pelatihan saja tapi Telkom pun bisa memberikan akses ke internet,'' katanya.
Diharapkan, sambung Muhammad, setelah menguasai ICT media dakwah atau syiar Islam semua santri bisa bertambah. Kapan pun mereka akan berdakwah, kata dia, tidak akan menemui masalah karena medianya semakin mudah. style="font-family:arial;">Sumber: Republika, 25 Februari 2008





