
''Berbagai perubahan telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan budaya masyarakat. Sehingga kita merasakan betapa masyarakat tengah mengalami krisis nilai. Karena itu, masyarakat sangat menunggu dan mengharapkan banyak munculnya karya-karya tulis dari kalangan pesantren dan pendidikan agama,'' tandas Atho.
Diakui Atho, saat ini jarang kiai-kiai dan para ustad di pesantren yang menulis buku atau karya tulis lainnya. Ini jauh berbeda dengan kondisi para kiai dan ustad pada sekitar abad ke-19. ''Ketika itu bahkan karya-karya tulis para kiai dan ustad, banyak diterbitkan di Arab Saudi dan Turki, selain di Indonesia sendiri tentunya,'' papar Atho.
Menurut Atho, lomba-lomba semacam ini merupakan salah satu cara dalam mendorong kreatifitas komunitas pesantren dan madrasah dalam meningkatkan kemampuan tradisi menulis. ''Sejatinya, lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah menghasilkan output pendidikan yang baik. Salah satunya adalah menghasilkan produk budaya berupa karya-karya ilmiah maupun fiksi yang monumental sebagai bentuk warisan bagi generaasi berikutnya,'' tutur Atho.
Ditambahkan Atho, dengan memperkaya hasil karya tulis dari kalangan pesantren dan madrasah, tentunya akan menambah pula wawasan dari guru atau tenaga pendidik. ''Misalnya seperti cerita-cerita fiksi keagamaan, ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pada anak didik. Akan lebih efektif dan cepat tertanam pada anak didik dibanding hanya sekedar memaparkan dari sudut keilmuannya saja,'' ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Amin Haedari mengungkapkan bahwa untuk lomba Karya Tulis Ilmiah, pihaknya menerima 156 naskah dari seluruh Indonesia. sementara untuk Lomba Cerita Fiksi Keagamaan, pihaknya menyeleksi 285 naskah. Untuk lomba Karya Tulis Ilmiah, juara pertama mendapatkan hadiah uang tunai sebesar 15 juta rupiah. Sedangkan untuk lomba Cerita Fiksi Keagamaan, juara pertama mendapatkan uang tunai 10 juta ruppiah. osa/yto
