’’Saya berharap anak saya kelak jadi dokter. Tapi saya juga ingin ia memahami agama Islam dengan baik. Kalau ia saya masukkan pesantren, apa mungkin lulusan pesantren bisa kuliah di Fakultas Kedokteran?’’.Pertanyaan itu sangat mungkin muncul di benak sejumlah orang tua. Wajar saja, sebab di mata banyak orang, pesantren masih identik dengan pendidikan agama saja. Sedangkan pendidikan umum, terutama eksakta (IPA) masih sangat kurang.
Hal itu tidak selamanya benar. Kini pesantren pun banyak yang menaruh perhatian penting kepada pendidikan sains. Salah satunya adalah Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat. ‘’Kami memberikan penekanan yang besar kepada pelajaran sains, sehingga lulusan Aliyah Al-Hamidiyah bisa kuliah di berbagai perguruan tinggi umum, seperti Universitas Indonesia (UI), Insitut Pertanian Bogor (IPB) dan UGM. Bahkan, lulusan Al- Hamidiyah pun ada yang kuliah di Fakultas Kedokteran dan sekarang sudah menjadi dokter,’’ ungkap KH Ahmad Zarkasih, Kepala Madrasah Aliyah Al-Hamidiyah.
Hal senada diungkapkan Kepala Madrasah Tsanawiyah Al-Hamidiyah Ustadz Iwan Budiawan. Menurutnya, porsi pelajaran umum di Tsanawiyah Al-Hamidiyah lebih dari SMP. Misalnya, jumlah jam pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia tidak hanya reguler (sesuai kurikulum), tapi ditambah dengan responsi dan tutorial. ‘’Kalau dihitung-hitung, jumlah jam tambahan belajar itu tak kurang dari 40 persen,’’ ujarnya.
Ustadz Eridian Patrio Putro, Kepala Bidang Pendidikan dan Pengajaran Yayasan Islam Al- Hamidiyah, Pesantren Al-Hamidiyah fungsi pesantren tidak lagi seperti dulu. ‘’Pesantren tidak hanya mengutamakan pendidikan agama, tapi juga sains. Di Al-Hamidiyah, porsi pendidikan sains kami optimalkan betul,’’ tandasnya.
KH Muslih Amin, Kepala Kajian Islam Yayasan Islam Al- Hamidiyah mengatakan sejak didirikan tahun 1988, filosofi pendidikan Al-Hamidiyah adalah menciptakan kader-kader yang bisa melakukan dakwah (syiar Islam). Hal itu sesuai cita-cita dan amanah pendiri Pesantren Al-Hamidiyah, yakni KH Achmad Sjaichu, seorang tokoh dakwah yang juga mantan Ketua PBNU.
‘’Menjadi kader dakwah itu tidak hanya harus menjadi ustadz atau kiai. Berdakwah bisa lewat cara apa pun, dan menjadi profesi apa pun. Baik sebagai politisi, pengusaha, pendidik, dan profesi lainnya,’’ ujarnya.
Humas Pesantren Al-Hamidiyah Ustadz Timmi Fauzan mengatakan, awalnya Pesantren Al-Hamidiyah dikembangkan di atas lahan seluas dua ha. Kini pesantren tersebut terus berkembang, dan lahan yang dimilikinya tak kurang dari tiga ha. ‘’Jenjang pendidikan yang dikembangkan di Pesantren Al-Hamidiyah adalah TK, TPQ, SDIT, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi,’’ tuturnya.
Muslih Amin mmengaku bukan hal yang mudah mengelola ponpes di zaman modern seperti saat ini. Untuk itu, Pesantren Al-Hamidiyah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut. Langkahnya antara lain, kegiatan dari pagimalam, dari 03.30-22.00 WIB.
Kegiatan santri dimulai dengan sahur puasa sunnah dan persiapan Shalat Shubuh, lalu Shalat Shubuh berjamaah. Kegiatan di kelas dimulai dengan tadarrus Alquran, waktu istirahat digunakan untuk Shalat Dhuha. Selain belajar di kelas, shalat jamaah setiap waktu, dan Shalat Tahajjud tiap malam, santri juga melakukan berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan mufrodat bahasa Arab dan Inggris. Sumber:REPUBLIKA, 14 Desember 2007, Hal:12





